Selasa, 18 Oktober 2011

Stop! Liberalisasi Pendidikan


Oleh : David Efendy, S.IP

ASET bangsa yang berupa pendidikan adalah aset yang kira-kira disebut penghuni terakhir bangsa ini. Setelah kebijakan liberalisasi ekonomi marak dilakukan semenjak Orde Baru sampai sekarang. Kini aset bangsa yang paling berharga ini sedang berada di ujung tanduk. Serius, benar-benar under attack. 

Kekhawatiran publik semakin terbukti akan terjadinya arus liberalisasi yang lebih sistematik dan massif yang dipelopori oleh pemerintah pusat. Selama ini proses pendidikan sebenarnya sudah mengarah kepada kecenderungan liberalisasi dengan indikasi standarisasi pendidikan yang tak ubahnya adalah upaya penyeragaman modal pendidikan dengan menjadikan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan yang sangat dominan. Hal ini kemudian ditopang dengan disyahkannya peraturan Presiden Nomor 77 tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal. Hal ini dianggap sebagai manifastasi dari di undangkannya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.

Dalam perpres 77/2007 tersebut dengan sangat jelas bahwa pendidikan merupakan jenis bidang usaha yang terbuka untuk investasi modal asing dengan ketentuan kepemilikan modal asing sampai 49%. Lembaga pendidikan yang dimaksud di sini meliputi pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Tinggi, dan Pendidikan Non-Formal. Semua ini masuk dalam kategori bidang usaha terbuka, meski dengan persyaratan. Jadi, lembaga pendidikan telah beralih fungsi sebagai lembaga ekonomi tidak berbeda dengan PT, BUMN, koperasi dan sejenisnya.


Ada tiga hal yang layak kita analisis. Pertama, mengapa muncul Perpres 77/2007. Beberapa pengamat menyatakan perpress ini adalah turunan dari UU PMA. Namun, juga nalar kritis melihat bahwa dalam UU PMA tidak menyinggung kalau lembaga pendidikan sebagai bidang usaha apalagi termasuk bidang usaha yang terbuka untuk pemodal asing. Jadi ada persoalan dalam prosedur konstitusi yang telah dilanggar oleh pemerintah. Sehingga penulis, berpendapat bahwa kebijakan ini adalah akibat tekanan pemodal asing melalui corong WTO yang menggolongkan pendidikan sebagai unit usaha yangperlu investasi modal. Ini selain bentuk liberalisasi adalah upaya kolonialisasi dalam bentuk pendidikan sebagaimana dulu pernah diterapkan oleh Belanda. Sekolah/lembaga pendidikan waktu itu memroduksi tenaga kerja yang murah untuk melanggengkan kekuasaannya. Inipun dibungkus dalam politik etis yang menyesatkan.

Kedua, apakah dampak bagi karakter pendidikan. Dampak yang sangat jelas adalah terancamnya nilai-nilai akar budaya bangsa akibat kepemilikan modal asing. Meski hanya 49% dalam kenyataannya ini sangat menentukan karena modal 49% ini mempunyai dampak psikologis terhadap arah pendidikan melalui kurikulum. Sebagai akibat kelanjutan adalah masuknya berbagai ideologi asing (pemilik modal) yang akan menggusur moralitas, nilai kebangsaan, serta mentalitas anak didik. Dampak lainnya juga akan mengancam sekolah-sekolah swasta yang kekurangan modal akan gulung tikar karena ketidakberdayaan melawan pemodal asing akibat liberalisasi ini memberlakukan hukum rimba, siapa punya uang banyak dialah yang menguasai. Sayang hal ini biasa disebut kompetisi dalam mekanisme pasar dan negara tidak perlu terlalu intervensi.

Ketiga, langkah apa untuk menyelamatkan pendidikan kita. Kita masih punya optimisme bahwa akar pendidikan kita masih berakar budaya bangsa, maka seharusnya kekuatan elemen pendidikan ini masih punya bargaining position untuk menolak komersialisasi pendidikan yang sedang direncanakan oleh pemerintah. Salah satu langkah yang mendesak untuk dilakukan adalah melakukan gugatan judical review untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keluarnya perpres 77/2007. Materi gugatan dapat berupa uji atas Perpres dengan UU PMA yang dianggap tidak sinkron dan cenderung bertentangan?.

Dengan daya kritis kita, semua elemen pendidikan diharapkan bersatu dan menolak kebijakan pemerintah yang semakin tidak terkontrol untuk menjual aset-aset negara, setelah BUMN dijual kini pendidikan terancam digadaikan dengan mulai membuka pintu gerbang investasi dalam dunia pendidikan laiknya investasi dalam perusahaan. 

Kita tanya, Apa negara masih kurang puas setelah menjual murah tambang, minyak, pasir laut dan hasil hutan. Kita sebagai bagian dari dunia pendidikan harus dengan lantang menyuarakan kepada penguasa : wahai pemerintah, berhentilah menjual aset bangsa! Kembalilah ke jalan yang benar. q - s

*) Penulis, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UGM, Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, Universitaria-Suara Mahasiswa, 20 September 2007

Tidak ada komentar: